Muncul Iklim Salju dan Picu Kelaparan, Ada Apa dengan Papua?

Kelaparan yang berujung kematian setidaknya enam warga di Kabupaten Puncak, Papua, disebut dipicu oleh "musim salju"

Headline, Konten538 Views

Channel Indonesia – Kelaparan yang berujung kematian setidaknya enam warga di Kabupaten Puncak, Papua, disebut dipicu oleh “musim salju” yang merusak tanaman. Kenapa ada hujan es di Bumi Cendrawasih?

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkap kekeringan akibat musim kemarau berkepanjangan yang diiringi cuaca dingin ekstrem memicu gagal panen di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi, Puncak, Papua Tengah.

Buntutnya, enam orang, lima dewasa dan satu bayi, meninggal.

Presiden Jokowi pun mengungkap “musim salju” di Papua menjadi penyebab warga tak bisa menanam bahan makanan hingga memicu kasus kelaparan.

“Ada daerah spesifik yang kalau di musim salju itu yang namanya tanaman tidak ada yang tumbuh di ketinggian yang sangat tinggi di distrik itu,” kata dia, di Jakarta, Senin (31/7).

Kondisi ini sejalan dengan peringatan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati yang menyebut bahwa pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim.

“Dampak perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Jika tidak, maka ketahanan pangan nasional akan terancam,” ungkap dia, dalam siaran pers BMKG.

Gap suhu

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Fachri Radjab menjelaskan hujan salju di wilayah Papua Tengah itu terjadi lantaran ada perbedaan atau gap yang lebar antara suhu maksimum dan suhu minimum di musim kemarau.

“Ketika musim kemarau, gradien suhu atau perbedaan suhu maksimum dan minimum sangat besar. Ketika siang hari suhu maksimum, dan dini hari suhu minus, minimum, terutama di daerah dataran tinggi yang memang suhunya sudah rendah,” tutur dia, dalam acara Forum Merdeka Barat bertajuk ‘Waspada Dampak El Nino’, Senin (31/7).

Menurut dia, ini merupakan “fenomena yang lazim di musim kemarau,” terutama dataran tinggi seperti Papua Tengah, Bandung, dan Dieng.

Dikutip dari Antara, Kabupaten Puncak, yang diresmikan pada 2008 ini, punya ketinggian antara 1.500-4.000 meter di atas permukaan laut.

Kasus serupa juga pernah terjadi di Kab. Puncak pada 2015 dan 2019. Saat itu juga kondisinya sama; musim kemarau dan El Nino.

“Musim kemarau perbedaan suhu sangat besar, tambah El Nino kondiisi suhu rendah di dataran tinggi berpotensi terjadi,” jelas Fachri.

Ia pun menyebut fenomena ini “adalah bukti nyata perubahan iklim.” Pasalnya, gap suhu itu makin melebar tiap tahunnya.

“Beda suhu yang begitu besar memang terjadi peningkatan. Siang 35 [derajat Celsius], malam [suhu] minus di dataran tinggi.”

Lalu kenapa gap suhunya bisa beda jauh?

Saat menjelaskan soal fenomena sejenis di Bandung, Kepala Stasiun Geofisika BMKG Bandung Teguh Rahayu mengatakan gap suhu terjadi buntut faktor awan.

“Suhu dingin ekstrem memang cenderung berpeluang terjadi saat musim kemarau, yakni pada malam hari. Saat musim kemarau, pada siang hari, terik sinar Matahari maksimal karena tidak ada tutupan awan. Akibatnya permukaan bumi menerima radiasi yang maksimal,” kata dia, pada Rabu (19/7).

Rahayu menjelaskan pada malam Bumi melepaskan energi. Lantaran tak ada tutupan awan (langit cerah tanpa awan), maka pada malam hingga dini hari radiasi yang disimpan di permukaan Bumi secara maksimal dilepas ke angkasa.

“Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan permukaan bumi mendingin dengan cepat karena kehilangan energi secara maksimal. Dampaknya adalah suhu minimum atau udara dingin yang ekstrem di malam hingga dini hari,” tutur dia.
Bukan kemarau

Sementara, Pakar klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin tak sepakat dengan istilah “kemarau panjang” di Papua.

“Jayapura masih sering mengalami hujan selama Juni-Juli 2023. Jadi tidak tepat disebut kemarau panjang. Kekeringan meteorologis diartikan kondisi tak hujan hingga minimal 3 bulan sehingga indeks presipitasi bernilai negatif,” kicaunya di akun X alias Twitter, belum lama ini.

Berdasarkan prakiraan cuaca BMKG, Kabupaten Puncak, lokasi kelaparan itu, masih bakal rutin diguyur hujan dalam beberapa hari ke depan.

Pada Selasa (1/8) malam, daerah tersebut diguyur hujan lebat. Rabu (2/8), Kab. Puncak diprediksi hujan ringan pada pagi serta berawan pada siang dan sore.

Suhunya mencapai 16–24 derajat Celsius dengan kelembapan 65-95.(Dari berbagai sumber/Annisa)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *