Channel Indonesia– Polisi menangkap dua pria yang mengancam akan meledakkan Markas Polres Pacitan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Salah seorang pelaku adalah residivis kasus terorisme. Muncul pertanyaan: kenapa mantan narapidana terorisme (napiter) kembali lagi menjadi teroris?
Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Sapto Priyanto, mengatakan penyebab utama seseorang menjadi residivis kasus terorisme sangat berkaitan dengan latar belakang atau asal-usul residivis tersebut.
“Kalau dia berasal dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), sudah jelas penyebabnya adalah ideologi radikalnya yang masih terasa,” kata Sapto, saat dihubungi, Kamis, 17 Juli 2025.
Menurut Sapto, dengan ideologi radikalnya, residivis itu menganggap pemerintah sebagai musuh dan halal untuk diperangi. Ideologi radikal itu, Sapto melanjutkan, juga membuat residivis tersebut salah memaknai dan menerapkan konsep jihad.
“Jihad oleh pelaku teror hanya dimaknai sebagai perang dan hukumnya adalah fardu ain. Mereka menganggap saat ini dalam situasi perang karena tidak tegaknya syariat atau hukum Islam di Indonesia,” ujar pengajar Kajian Terorisme UI ini.
Kasus residivis terorisme di Pacitan sebenarnya bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Pada 2023 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah mengungkap sebanyak 116 dari 1.036 mantan napiter menjadi residivis terorisme. Artinya, ada sekitar 11 persen mantan napiter yang jadi residivis.
Sapto mengatakan, meski banyak mantan napiter yang jadi residivis, bukan berarti program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah melalui lembaga-lembaga seperti BNPT dan Densus 88 kurang maksimal. Menurut dia, jika residivis itu menolak ikut deradikalisasi, maka program tersebut tidak bisa sepenuhnya dibilang kurang maksimal.
“Tapi apabila residivis ini adalah mantan napiter yang pernah ikut deradikalisasi, baru bisa dikatakan programnya kurang maksimal. Selain karena masalah ideologi, mungkin mereka ikut program deradikalisasi karena terpaksa agar cepat bebas, bukan benar-benar menyadari kesalahannya,” ucap Sapto.
Agar masalah residivis terorisme tidak semakin parah ke depannya, Sapto mendorong pemerintah menjalankan program deradikalisasi yang berkelanjutan, mulai dari pelaku tertangkap hingga bebas. “Dan sebaiknya program deradikalisasi melibatkan masyarakat tempat pelaku tinggal dengan konsep berbasis komunitas,” katanya.
Selain itu, Sapto juga berharap pemerintah, melalui Kementerian Agama, turun tangan untuk meluruskan kesalahan pemaknaan jihad dalam ideologi radikal. “Di sinilah pentingnya Kementerian Agama, yakni menjelaskan kesalahan pemahaman para pelaku. Karena kalau tidak, mereka akan tetap dipengaruhi propaganda dan bisa saja muncul teroris-teroris baru,” ujar Sapto.
Seperti diketahui, BNPT telah melaksanakan sejumlah kegiatan dalam program deradikalisasi, mulai dari pembinaan keagamaan, kebangsaan, hingga kemandirian mitra deradikalisasi. Tahun ini, BNPT mengutamakan pendekatan kolaboratif dalam menjalankan program deradikalisasi dengan membentuk tim koordinasi pelaksanaan deradikalisasi di dalam dan luar penjara.***